Internet, semakin murah, semakin mudah. Tapi Aturan semakin bikin “susah”.

Dahulu sebelum internet “merakyat” dan masih “milik orang2 berkantong tebal” (karena biaya instalasi dan pemakaian resource-nya yang masih mahal dan belum banyak perusahaan yang melirik teknologi ini), pertukaran informasi sangatlah terasa sekali lambatnya dan terkadang juga mahal untuk mendapatkan informasi. Bayangkan saja, surat biasa yang dikirimkan ke seseorang paling cepat sampai sekitar 3-4 hari, kalau mau sehari sampai, musti pakai Kilat khusus, itu pun kalau kotanya tidak berjauhan.

Lalu, kalau ada informasi yang harus disampaikan segera secara tertulis, mentok-mentok pakainya telegram yang mahalnya juga ga kira-kira .Tau kan, klo biaya telegram tu dihitungnya per kata yang ditulis, makanya banyak yang menyingkat-nyingkat kata-kata sedemikian rupa sehingga dapat biaya kirim yang murah). Tapi, ada aja kan kalau disingkat2 gtu yang bikin informasi jadi bias (kayak sekarang aja, dengan teknologi sms aja, ada para alay yg nulis2nya disingkat2, pasti bakal gw tanyain dah tuh, mksudnya apaan, gw suruh kirim balik lagi dah pesannya. Nah ini sms, tinggal send, coba klo telegram?? Mampus aja dah lu, bolak balik kantor pos gara-gara diteleponin sama penerima, karena pesan yang diterima ga jelas.).

Mungkin, ada dari pembaca yang celoteh, “lah kan dulu bisa pake telepon umum/ telepon rumah biar cepat”. Nice argument, tapi, coba lu-lu pikir lagi, apa semua informasi tu valid hanya dengan omongan? Atau paling tdk, apa semuanya jelas kalo ga dicatat secara tertulis?

Akhir tahun 90-an (sekitar mulai 1998 lah ya), baru lah, mulai banyak orang Indonesia “ngeh” klo internet ga Cuma buat pertukaran informasi aja, tp bisa buat bisnis juga. Beberapa ada yang membeli domain dotcom untuk media komersial mereka (model2 online store gtu lah, contohnya bhinneka.com dan bekas.com yang udh buat domain sejak awal tahun 2000-an).

Selanjutnya, di balik layar, proyek-proyek social media yang awalnya berkembang di lingkungan privat (seperti FB yang awalnya populer di lingkungan Harvard univ. dan Youtube yang dbuat oleh 3 mantan karyawan Paypal) lama kelamaan booming meramaikan traffic internet. Hampir semua orang mempunyai akun ID di tiap social media dan 1 orang bisa punya lebih dari 1 akun. Bahkan, menurut data dari film dokumenter di sini  , Indonesia memiliki pengguna FB 30,1 juta jiwa (no. 2 di dunia), pengguna twitter 6,2 juta jiwa (no. 3 di Asia) dan pengguna blogger 2,7 juta jiwa.

Dengan adanya social media yang makin lama makin “diramaikan” oleh berita2 (dari yang benar, sampai yg benar2 boong 😀 ), membuat arus informasi semakin ramai lalu-lintasnya. Tidak ada lagi penghalang apakah itu dari negara/bangsa mana lah infonya, bahkan di waktu kita tidur pun, informasi tetap berputar di media ini (iya lah, 24 jam/7 hari non-stop kan internet ga mati2, kecuali klo semua server d dunia mati semua 😀 ). Kalo gw boleh bilang, udah ga terhalang lagi oleh jarak dan waktu.

Menanggapi hal ini, Pemerintah Indonesia mulai antisipasi terhadap derasnya lalu-lintas arus informasi ini sebagai bagian dari dampak era globalisasi. Yang paling gembar-gembornya tuh produk Undang-undangnya yang UU ITE no.11 tahun 2008. Di sisi lain, sebelumnya pemerintah juga udah mengamandemen UUD 1945 yang antara lain menghasilkan produk hukumnya berupa Pasal 28F, UUD 1945 Indonesia, Amandemen ke-2.Dua produk hukum ini yang setidaknya yang saya dapatkan dari buku di kolom ini  , yang menurut tulisannya di situ, bisa dijadikan sebagai pedoman untuk berekspresi secara online.

Namun, kalau melihat dari kasus bu Prita Mulyasari yang mengkritik pelayanan suatu instansi jasa yang digunakannya, terlihat inkonsistensi Pemerintah dalam tata urutan perundang-undangan di Indonesia. (saya ambil kasus yang ini, karena kasus ini setidaknya yang paling intens pada waktu itu diberitain di media mana-mana). Bu Prita ini terjerat pasal 27 ayat 3 UU ITE no.11 tahun 2008 akibat perbuatannya mengkritik instansi tersebut dan digugat oleh instansi tersebut dengan gugatan pencemaran nama baik.

Dalam Pasal 28F, UUD 1945, Amandemen ke-2 tertulis:

“Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.”

Sedangkan dalam Bab VII- Perbuatan Yang Dilarang, Pasal 27 ayat 3 UU ITE no. 11 tahun 2008 tertulis:

“Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.”

Di mana sanksi pelanggaran dari pasal 27 ayat 3 UU ITE tersebut tertulis dalam pasal 45 ayat 1, sebagai berikut:

“Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).”

Saya mau menyoroti makna dari “muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik”. Dalam Bab Penjelasan atas UU RI ITE No.11 tahun 2008 , pada pasal 27 ayat 3 tertulis “cukup jelas”. Apanya yang cukup jelas? Orang merasa terhina dan atau merasa tercemar nama baiknya kan tergantung dari penilaian pribadi orang masing-masing. Karakter orang beda-beda, ada yang gampang tersinggung, ada yang sabar banget, sehingga sangat subjektif sekali menilai sampai batas mana informasi tersebut bisa dibilang menghina atau tidaknya. Hal ini, nantinya bisa menjadi “senjata” beberapa orang untuk mengerdilkan ruang gerak / hak orang lain dalam berekspresi (seperti yang diatur dalam Pasal 28F, UUD 1945, Amandemen ke-2 ).

Inilah sedikit pemikiran saya, di mana kebebasan berkspresi melalui internet saat ini masih tidak sepenuhnya bebas dan bertanggung jawab; tetapi masih ada kekhawatiran akan adanya pihak-pihak yang jika tidak senang dengan ekspresi kita dengan gampangnya mencekal kita hanya karena ada statement pasal hukum yang ambigu (termasuk saya juga agak ketar-ketir nih bikin2 analisis beginian).

Pengajuan Proposal Kegiatan melalui Media Sosial (social media), Mencari Manfaat Internet di Tengah “Kebebasan yang Ambigu” .

Anyway, terlepas dari kondisi kebebasan berekspresi di media online yang udh saya jelasin di atas, bukan berarti terus kita trauma menggunakan teknologi internet. Biarlah, nantinya mudah-mudahan ada anggota dewan yang baca tulisan ini terus terketuk hatinya untuk mengkaji ulang aturan yang ambigu tersebut. Orang-orang Indonesia terkenal dengan kecerdikannya (tapi masih banyak “kecerdikan” tersebut digunakan untuk hal-hal yang negatif). Mengapa tidak kita “putar otak” untuk memanfaatkan internet sebagai tool yang bernilai ekonomis dan bermanfaat bagi orang sekitar daripada sekedar pajang-pajang foto narsis di profpict.

Saya pernah diberikan link dalam comment FB saya (seperti di sini  yang kemudian di-link-kan ke sini  ) yaitu tentang pengajuan proposal permintaan dana untuk kegiatan sosial (seperti terlihat di sini dokumen lengkapnya ). Menurut saya, ide teman-teman saya tersebut kreatif,ekonomis,efisien dan efektif. Penyampaian proposal dengan cara seperti itu menghemat biaya (ga perlu muter2 ke rumah-rumah donatur), interaktif (kalo ada yang kurang jelas,bisa nanya di comment-nya), cepat tersebar (tinggal tag-tag-in aja orang-orang yang mau dituju, dan biasanya, orang yang dituju, memberikan referensi nge-tag lagi ke orang-orang yang kira-kira potensial untuk dimintain duitnya. Hihihihi…) dan terbuka (setiap komentar bisa dibaca oleh orang banyak, beda dengan tanya jawab antar email atau group yang cakupannya lebih sedikit orang yang bisa lihat hasil tanya jawab terhadap sesuatu hal). Sampai saat ini, kabarnya mereka sudah mengumpulkan separuh dari dana yang dibutuhkan dalam waktu kurang dari sebulan, padahal mereka tu masih mahasiswa tapi sudah dapat bermanfaat untuk lingkungan sekitarnya (tau ndiri kan mahasiswa, jaman2nya susah, udah malu minta duit ke ortu, tapi pengeluaran makin banyak…).

Ini adalah salah satu contoh pengekspresian diri sekelompok orang yang cerdas. Memanfaatkan kekuatan internet untuk “mengiklankan” diri/ “mengiklankan” apa yang diinginkannya. Singkatnya, menurut saya, penggunaan internet untuk mengekspresikan diri di tengah aturan yang masih ambigu ini harus pintar-pintar dalam mengendalikan diri dan cerdas bagaimana dan di mana uneg-uneg itu tepat disampaikan dan tidak menjadi bumerang bagi diri sendiri. Seperti contoh tersebut, awalnya kegiatan tersebut berupa uneg-uneg dari 15 orang mahasiswa yang kemudian mereka kemas menjadi sesuatu yang “elegant”.

Di situ saya melihat, di saat social network media bagi kebanyakan orang baru memakainya untuk ajang narsis saja, ada sebagian orang yang sudah dapat memanfaatkannya untuk menolong orang lain. Semua itu bergantung kepada penggunanya, akan menjadi seberapa besar manfaatnya suatu social network media tersebut, baik bagi diri sendiri ataupun untuk kepentingan bersama.

Terakhir, (gw udah capek juga nulisnya euy), social network media adalah bagian dari aplikasi di internet dan internet sendiri adalah salah satu teknologi. Pepatah klasik mengatakan, teknologi bagaikan pisau bermata dua, bisa berdampak positif dan negatif, baik bagi yang menggunakannya maupun bagi orang lain di sekitarnya.